Ekonomi di Ambang Resesi, Rencana Kenaikan Cukai Lanjut Terus

Kamis, 29 Oktober 2020

Ilustrasi tembakau (ist)

JAKARTA - Sektor industri hasil tembakau (IHT) nampaknya menjadi salah satu industri yang terus menerus mendapat tekanan. Meski berbagai kalangan, seperti petani, pemerintah daerah, asosiasi pengusaha sampai akademisi telah memberikan pandangan nya yang komprehensif bagaimana kebijakan yang tidak hati-hati akan berdampak luas, namun pemerintah masih terus melaju dengan rencana menaikkan tarif cukai di 2021.  

Kepastian kenaikan cukai tahun ini masih mengundang tanda tanya dari sejumlah pihak. Normalnya, Pemerintah mengukur kenaikan cukai disesuaikan dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun nyatanya, yang terjadi di penghujung 2019, pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok yang sangat tinggi, yaitu rata-rata 23 persen dibarengi dengan kenaikan Harga Jual Eceran sebesar 35 persen.

Rumor yang beredar pemerintah akan mengulangi menaikkan tinggi cukai hasil tembakau untuk 2021. Hal ini seperti menutup mata pada kondisi yang tengah dihadapi negeri ini. Selama pandemi Covid-19, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat angka pekerja yang dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin bertambah. 

Menurut Ketua KADIN Rosan Roeslani saat ini angka pengangguran mencapai 7 juta orang dan diprediksi bisa terus bertambah sampai dengan 13 juta orang. Pernyataan ini disampaikan dalam acara bertajuk 'Outlook 2021 The Year Opportunity'.

Dengan adanya fakta di atas, maka keputusan Pemerintah untuk memastikan tarif cukai naik 2021 dirasa sangat tidak tepat. Hal senada disampaikan Ketua Umum FSP RTMM Sudarto. Selaku ketua umum untuk serikat pekerja, pihaknya memetakan realitas di lapangan terhadap dampak kenaikan tarif cukai ke depan.

"Sekarang kita lihat saja secara realita, selama lima sampai tujuh tahun ke belakang, setiap regulasi untuk IHT ini faktanya menurunkan tingkat serapan tenaga kerja. Keputusan pabrikan melakukan efisiensi pekerja tidak mudah namun jalan melakukan efisiensi ini memang risiko yang paling cepat kejadian kalau kenaikan cukai terus dilakukan, termasuk tahun 2021 nanti dan lambat laun, berpengaruh ke perusahaan rokok akan semakin sedikit," kata Sudarto dalam rilis Dialogue Communications, Kamis (29/10/2020).

Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad) Bayu Kharisma menambahkan, Indonesia sekarang menuju ambang resesi, secara umum pasti yang akan terasa daya beli masyarakat semakin terpukul. Selain itu, akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan puluhan ribu pekerja rokok SKT.

Hal lain yang tidak kalah penting, harus dilihat seberapa dalam resesi dan seperti apa pertumbuhan ekonomi nanti. Kalau ekonominya makin memburuk, maka 2021 adalah cobaan berat kepada pelaku IHT, khususnya kelompok usaha kecil menengah dan pekerja pabrikan golongan 2 dan 3 akan semakin sulit.

"Pilihan untuk bertahan nampaknya juga sulit karena produktifitas akan terbatas selama pandemi masih berlangsung di negeri ini. Dengan kondisi perekonomian yang semakin terpuruk akibat resesi, negara harus mengeluarkan kebijakan yang melindungi sektor IHT, terutama pekerja rokok SKT yang mayoritas merupakan tulang punggung keluarga," kata Bayu.

Bayu mengatakan, pemerintah sebaiknya meninjau ulang kenaikan tarif cukai di sektor IHT 2021. Selama ini, pemerintah seakan menutup mata dari dampak kenaikan cukai yang signifikan di awal 2020, dimana penetapan tarif harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35 persen dan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 21,55 persen menuai respon negatif dari kalangan industri.

Adapun, jika tarif cukai harus naik demi memenuhi target penerimaan, memang dianggap wajar, hal ini disampaikan Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto.

Menurutnya, yang tidak wajar komposisi kenaikannya. "Kami memohon kepada pemerintah untuk kembali menyesuaikan kenaikan cukai yang lebih realistis yakni di sekitaran angka 7 hingga 10 persen," tutupnya.

Jika ditinjau dari volume produksi juga sudah menurun dan target cukai IHT tahun ini pun memenuhi target pemerintah. Jika tetap dinaikkan, dampaknya akan menurunkan daya beli masyarakat dan ruang untuk rokok ilegal semakin marak. Maka jangan sampai niat baik pemerintah justru ditunggangi pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

Disinggung mengenai penyederhanaan tarif cukai, Heri menambahkan, ini hanya akan mengarah pada monopoli pasar. Karena perlu diingat bahwa pabrikan besar jumlahnya walaupun hanya 5 persen, tapi menguasai 90 persen pasar. Sedangkan pabrikan kecil dan menengah jumlahnya sebanyak 90 persen, tetapi pasarnya hanya 10 persen saja. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di bidang ekonomi, Pemerintah perlu meninjau dan menghitung kembali agar IHT tidak mengarah pada monopoli pasar.

Alur perjalanan keputusan naiknya tarif cukai dimulai setelah Kementerian Keuangan menyelesaikan perhitungannya untuk kemudian Menteri Keuangan membicarakan usulan angka kenaikan tarif CHT kepada Menteri Koordinator Perekonomian. Terakhir, angka kenaikan tarif CHT akan dibawa ke rapat terbatas untuk memperoleh persetujuan Presiden.

Kalkulasi anggaran yang ditetapkan pemerintah lewat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021 target penerimaan cukai sebesar Rp178,5 triliun. Secara spesifik, target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2021 sebesar Rp172,75 triliun atau lebih tinggi 4,7 persen dibanding target 2020 senilai Rp164,94 triliun. Jumlah ini setara dengan kenaikan sebesar Rp7,81 triliun dibanding target2020.***